Sr Deodatis dan Sr Yosefrida foto bersama orang-orang di Papua
Papua dulu memang menjadi tempat kerinduan misi saya meskipun akhirnya saya dipercaya untuk bermisi di Jawa, namun saya bersyukur karena saat ini saya dipercaya dan mendapat hadiah dari Kongregasi khususnya SSpS Provinsi Jawa untuk menghadiri sekaligus berlibur selama kurang lebih 2 Minggu di Papua. Setelah pesta di Komunitas Abdi Roh Kudus Kali Bom, saya bersama Sr Viany, Sr Ervina, Sr Yosefrida dan Sr Immaculata diantar oleh umat mengadakan kunjungan ke Rumah Sakit Dian Harapan. Hari berikutnya ke Gereja Stasi dan Komunitas Abdi Roh Kudus di Kali Bom.
Saya bersyukur karena dua rumah Komunitas SSpS di Papua ada asrama sehingga besar harpan saya, anak-anak dan mahasiswa bisa dididik menjadi lebih baik untuk generasi muda yang bisa membangun dan juga mengembangkan tanah Papua menjadi lebih baik lagi khususnya yang sangat perlu saat ini adalah sumber daya manusianya (SDM). Asrama dan sekolahan memang ada tetapi para guru yang dipercaya untuk mendidik anak-anak di Kali Bom sering tidak hadir, selain itu juga semangat belajar dan mengikuti pelajaran anak-anak sangat rendah.
Selain itu saya juga mengunjungi Gereja di Stasi Waris yang sebelum tahun 1965, merupakan pusat misi Katolik. Namun sungguh disayangkan meskipun sudah lama masyarakat menjadi Katolik tetapi sekarang semakin banyak yang tidak aktif ke Gereja selain itu poligami sudah menjadi hal yang biasa, ikatan pada adat yang menentukan tingkah laku masyarakat jauh lebih kuat dibandingkan dengan iman mereka. Selain itu alam yang sebenarnya kaya namun SDMnya kurang. Meskipun subsidi dari Pemerintah ada, namun karena kurang diperhatikan justru tidak mendorong masyarakat untuk berusaha berdikari, hal ini bisa dilihat dari anak-anak yang kurang disiplin dan tidak suka dengan belajar padahal pendidikan sungguh sangat dibutuhkan.
Selama sehari tinggal bersama para Suster yang tinggal di Komunitas Abdi Roh Kudus, Kali Bom saya gunakan untuk mengatur ruang doa, sungguh saya merasa sedih karena rumahnya kecil apalagi ruang doanya. Melihat keadaan seperti ini saya semakin tergerak hati untuk tinggal bersama mereka, apalagi sebentar lagi Sr Ervina akan study di Jawa dan Sr Immaculata berobat ke Surabaya dan tidak tahu berapa lama karena gangguan kesehatannya, sudah otomatis yang ada tinggal Sr Viany dan Sr Yosefrida. Keinginan itu ada tetapi mengingat sekarang saya sudah tua dan tugas disini membutuhkan Suster yang kuat secara fisik dan mental, saya merasa tidak sanggup. Setelah tiga hari, saya dan Sr Yosefrida juga ikut kembali ke Waena.
Sr Deodatis foto bersama orang-orang penduduk asli Papua
Di Waena saya dan Sr Yosefrida yang juga ikut pergi, maka saya dijemput oleh dua Suster Fransiskan dan diantar ke desa Kimbing dan tinggal di Suster Fransiskan. Selama di desa Kimbing saya juga diajak untuk mengunjungi sekaligus ada pesta. Di Gereja saya bertemu dengan banyak orang yang datang dengan hiasan di badan berupa tato dan hiasan lainnya berdasarkan tempat asal suku mereka. Banyak dari mereka yang masih mengenakan koteka. Satu pengalaman yang sungguh meneguhkan sekaligus juga memberikan harapan bahwa orang Papua pasti bisa menjadi lebih baik, hal ini sungguh saya rasakan ketika mendengarkan kotbah satu imam Projo yang asli dari Papua, yang sekarang dipercaya menjadi Magister bagi para Frater yang menangani khusus calon imam dari daerah asli Papua.
Dalam kotbahnya beliau mengajak yang hadir untuk semakin mengimani Kristus sehingga yang hadir sungguh merasakan Kristus yang semakin menguatkan iman, harap dan kasih kita pada Allah dan juga dalam tugas setiap hari. Selain itu beliau juga mensyeringkan pengalaman panggilan hidupnya sebagai seorang imam dan bagaimana Allah sungguh campur tangan sehingga semakin memantapkan langkahnya untuk mengikuti panggilan-Nya. Kepada orang muda beliau juga berpesan, agar semakin meningkatkan relasi pribadi dengan Tuhan supaya semakin peka akan rahmat panggilan. Dan untuk semua saja diajak untuk saling mendukung dan menguatkan hidup dan panggilan melalui doa-doa. Setelah Misa Syukur selesai dilanjutkan dengan menyaksikan sebuah tarian Papua yang menggambarkan bagaimana dulunya masyarakat Papua menolak, membenci bahkan mengusir para Misionaris yang datang. Setelah itu dilanjutkan dengan menikmati hidangan khas Papua yaitu “Barapen”.
Sr Deodatis (no 2 dari kanan) foto bersama para Suster Kongregasi Fransiskan
di Kapel Biara Fransiskan, Papua
Hari berikutnya kami diajak untuk mengunjungi rumah komunitas Fransiskan yang letaknya lebih jauh karena di gunung, namun menyenangkan karena disana ada Gua Maria dan Bunda Maria dengan wajah khas Papua, selain itu juga ada Jalan Salib dimana pada puncak bukitnya ada salib besar. sebelum sampai kami melewati satu kampung yang masih menghormati mumi sehingga sampai sekarang dalam satu rumah adat Papua diletakkan satu mumi yang akhirnya dijadikan sebagai bisnis, karena kami ingin foto mumi tersebut harus membayar.
Setelah menikmati keindahan Papua kami kembali ke komunitas kita di Waena. Sehubungan dengan masa liburan saya sudah dua Minggu, maka saya bersama dengan Sr Immaculata yang akan berobat, kembali ke Surabaya. sungguh pengalaman tinggal dan bersama dengan orang-orang Papua memberikan semangat dan kekuatan bagi saya untuk melangkah. Bagi saya pengalaman selama dua Minggu ini merupakan rahmat yang patut saya syukuri karena apa yang menjadi kerinduan saya dulu untuk bermisi ke Papua kini sudah aku alami. Andaikan usia saya 20 tahun lebih muda, pasti saya akan melamar bermisi ke Papua. Sungguh saya berterima kasih untuk semua yang telah saya alami khususnya saya berterima kasih kepada Pimpinan SSpS Propinsi Jawa yang mengizinkan saya mencicipi suasana dan menikmati keindahan.
Papua.
Sr Deodatis SSpS
Infokom edisi khusus Mei 2012
No comments:
Post a Comment