IOM (International Organization of Migration)
bekerja sama dengan Kongregasi
RGS dan NGOs Justice Without Border
(JWB) dari Singapura mengadakan
pelatihan bagi paralegal pada tanggal 7-8 Oktober 2015 di Hotel Harris Pop
Surabaya. Tema pelatihan adalah Pemenuhan Hak dan Kebutuhan Buruh Migran di
Singapura. Pelatihan diikuti oleh kurang lebih 30 orang peserta utusan dari
LSM-LSM dan Lembaga lain dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bergerak
menangani kasus-kasus buruh migran. Sr. Mawartina SSpS mewakili Tim JPIC SSpS
Provinsi Jawa turut mengikuti pelatihan tersebut.
Pemberi materi adalah
Ibu Nurul Qoiriah dari IOM Pusat Jakarta, Bpk Eddy Purwanto (pengacara) dari
Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran, Mr. Douglas Mclean dari JWB Singapura, dan
Mrs. Jaecleen seorang pengacara dan pakar
hukum dari National University of
Singapore (NUS). Pelatihan ini dimaksudkan
agar para peserta dapat memahami secara pasti bagaimana mekanisme yang tepat dalam
menangani kasus-kasus trafficking
yang menimpa TKI yang bekerja di Singapura. Wawasan ini juga berguna dalam
menangani kasus buruh migran di negara lain. LSM dan lembaga-lembaga terkait
diharapkan dapat membangun jejaring dengan NGOs dan assosiasi pengacara di Singapura.
Pemahaman mekanisme
hukum, peraturan tenaga kerja asing yang diberlakukan bagi TKI di Singapura dan adanya
jejaring dengan pihak Singapura diharapkan akan mendukung efektifitas
penanganan kasus yang dialami TKI di Singapura.
Acara pelatihan cukup padat
namun peserta antusias
mengikuti. Pelatihan dibuka dengan perkenalan peserta, sharing harapan dan
kekhawatiran dan materi tentang
isu trafficking secara umum di Indonesia terdiri dari
perkembangan jumlah korban beberapa tahun terakhir dan perkembangan penanganan
kasus trafficking oleh IOM. Kegiatan
ini berisi diskusi, bedah kasus real
dan pemaparan tentang mekanisme yang dapat ditempuh apabila ada TKI di Singapura
yang memerlukan bantuan dan pendampingan.
Mrs. Jaecleen
memberikan penjelasan
tentang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Singapura dan Undang-Undang Tenaga Kerja Asing di Singapura yang mana hanya
berlaku bagi tenaga kerja non domestik (formal), tetapi tidak berlaku bagi
pekerja domestik seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Pemerintah Singapura tidak
mengakomodasi perlindungan bagi TKI yang bekerja sebagai PRT atau pekerjaan
domestik lainnya. TKI hanya dapat mengharapkan perlindungan yang diatur dalam
peraturan Tenaga Kerja Asing. Peraturan tersebut menurut Mrs. Jaecleen bersifat
"karet" karena tidak ada definisi yang tegas, misalnya tentang
ketentuan yang mengatur bahwa tenaga kerja asing di bidang domestik harus
mendapatkan makanan yang cukup dan
tempat tinggal yang layak. Ba-tasan cukup dan layak merupakan pasal karet
karena tidak terlalu tegas.
Hal yang menumbuhkan
harapan adalah bahwa Pemerintah Singapura masih
cukup bisa dipercaya dalam memberi perlindungan asal saja bisa menempuh
mekanisme yang tepat. Tentang syarat pembuktian di pengadilan dalam hal ter-jadi
pelanggaran/kekerasan terhadap TKI oleh majikannya jauh lebih fleksibel di-banding
sistem peradilan Indonesia.
Beberapa LSM termasuk
JWB biasanya memfasilitasi TKI korban dalam mendapatkan kompensasi bahkan
ketika mereka sudah kembali ke Indonesia. JWB diwakili Mr. Doyglas menawarkan
keterbukaan lembaganya untuk
membangun jejaring dengan lembaga-lembaga di Indonesia untuk menangani TKI
korban maupun untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah Singapura. Harapannya ke depan
Pemerintah Singapura bisa mem-buat
kebijakan yang lebih tegas terkait hak-hak Buruh Migran/TKI dan perlindungan dari
kekerasan, eksploitasi dsb.
Para peserta pelatihan
menyambut dengan hangat undangan berjejaring tersebut. Peserta pada umumnya merasa puas dengan
kegiatan pelatihan ini dan optimis akan membangun jejaring. Akhirnya pelatihan
diakhiri dengan komitmen untuk saling berjejaring baik antar lembaga di
Indonesia maupun dengan NGOs dan pengacara di Singapura.
Sr. Mawartina, SSpS
Infokom Edisi 49, November 2015
No comments:
Post a Comment