PROVINSI MARIA BUNDA ALLAH

di Jawa-Bali-Lombok-Sumatra-Papua, INDONESIA

Monday, May 11, 2015

SEMARAK HARLAH HUT KE-25 KORDISKA

Pada hari Sabtu, 21 Februari 2015 para Suster Komunitas Biara Roh Suci-Yogyakarta  (Sr. Rosa Indrawikan, SSpS; Sr. Yasinta Jehadut, SSpS; dan Sr. Veronika Rukini, SSpS) menghadiri kegiatan yang diadakan oleh UKM KORDISKA atau Kors Dakwah Islamiah Universitas Negeri Sunan Kalijaga.


Adapun kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merayakan HUT  KORDISKA yang ke-25. Bentuk kegiatannya berupa dialog antar umat beragama, dengan tema RUU Perlindungan Umat Beragama (Solusi Intoleransi Antar Umat Beragama di Indo-nesia),dengan narasumber Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A yang merupakan rektor III dari kampus UIN, Pendeta Palti Panjaitan selaku koordinator solidaritas korban pelanggaran kebebasan beragam dalam berkeyakinan, Zastro Al Ngatawi (budayawan) dan KH Abdul Muhaimin selaku ketua FPUB (Forum Pesantren Umat Beragama). Kegiatan ini dihadiri sekitar 250 peserta termasuk Dr. Zainal wakil kepala kantor wilayah kementerian agama DIY, kegiatan dimulai pada pk 09.00 sampai pukul 13.00 WIB.

Acara dimulai dengan pemukulan gong oleh KH. Abdul Muhaimin, yang dilanjutkan dengan mendengarkan beberapa sambutan. Dr. Zainal, wakil kepala kantor wilayah kementerian agama DIY, mengungkapkan UU yang mengatur tentang kerukunan umat beragama, tantangan-tantangannya, (pendidikan agama, pendirian rumah ibadat, dll) upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah (aturan-aturan dalam penyebaran agama dan mendirikan tempat ibadah) dan data dari masing-masing agama di DIY. Dengan adanya UU yang mengatur tata cara dan upaya-upaya yang dilakukan diharapkan bisa terjalin kerukunan umat beragama khususnya di DIY; Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A, mengungkapkan bahwa UIN merupakan Universitas Islam yang moderat/inklusif, dan terbuka. Beliau mengungkapkan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh kekayaan alam dan budaya.

Tantangan yang dihadapi yaitu bagaimana generasi muda bisa mengelola dan mempertahankan kemajuan dan solidaritas. Maka KORDISKA sebagai humasnya UIN diharapkan cerdas dalam membangun jembatan (antar umat beragama, etnis, dan budaya) agar bangsa ini tetap bersatu. Kalimat membangun jembatan silaturahmi menjadi kata kunci yang ditekankan oleh Pembina UKM KORDISKA.

Setelah sambutan acara dilanjutan dengan presentasi oleh Pendeta Palti Panjaitan yang menyseringkan bahwa dinegara kita yang multi suku dengan multi agama, namun yang diakui Negara hanya 6 agama (5 agama dan 1 aliran kepercayaan),sehingga agama yang lainnya tidak ada tempat, sehubungan dengan agama ini maka sangat jelas bahwa Negara melanggar UU no 1/PNPS/1965,bahwa Negara me-nyalahgunakan untuk pembenaran dalam menindas agama yang di luar agama resmi, sampai saat ini, Negara belum ada UU yang berisi tentang perlindungan umat beragama. Sehubungan dengan hal ini, maka muncul petanyaan “dimanakah bentuk perhatian Menteri Keagamaan?”. Setelah mendengarkan sharing pendeta Panjaitan mengenai fenomena yang terjadi bahwa terjadi kekerasan terhadap agama-agama tertentu dan juga terhadap dirinya, maka di lanjutkan dengan dialog diantara nara sumber dipandu oleh Zastro Al Ngatawi.

Menanggapi fenomena yang terjadi Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A, mengungkapkan pendapatnya bahwa Negara harus bersikap netral dan imparsial (melindungi hak-hak semua agama).  KH. Abdul Muhaimin menanggapi bahwa adanya resistensi-resistensi yang terjadi di Negara kita akan semakin mempertajam intoleransi. Beliau mensharingkan pengalamannya mendapat-kan kunjungan dari 70 negara dengan segala agama dan budayanya, menyiapkan makanan untuk tamunya yang tidak bisa ikut puasa sedangkan sekitar menolak hal itu, peran gereja Katolik dan Kristen saat terjadi erupsi di Yogyakarta (13 paroki dan dua gereja Kristen). Beliau mensharingkan dengan semangat bagaimana Gereja sangat cepat dan tanggap, serta berperan dan terbuka terhadap situasi tersebut, umat bebas menjalankan ibadahnya dan juga  merayakan Idul Adha. Sedangkan kementerian agama tidak melakukan apa-apa, justru beralasan mengurusi keberangkatan calon haji. Demikian juga pengalamannya saat berkunjung ke paroki, ke Negara-negara lain dan menginap di biara-biara. Beliau merasa bahwa diterima dengan terbuka dan bebas menjalankan ibadahnya, walaupun ada salib dan patung bunda Maria di dalam ruangan tersebut. Hal yang ditekankan adalah etika kemanusiaan dan kultural, bukan struktural. Sehingga kita semakin mampu memanusiakan sesama kita tanpa memandang latar belakang, suku, agama,ras, dll.

Setelah dialog diantara narasumber maka dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Mahasiswa dari UGM dan UIN menanyakan tentang persoalan pindah agama dan mengenai tafsiran. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A, menjawab bahwa tidak ada masalah bila seseorang pindah agama jika itu atas kemauannya sendiri dan tanpa paksaan (hak masing-masing pribadi). Demikian dalam hal penafsiran, masing-masing pasti memiliki pandangan yang berbeda-beda. Beliau lebih menekankan sebuah relasi kasih yang bersifat umum, karena jika terfokus pada dogma/ajaran akan menimbulkan perdebatan. Yang ter-penting lagi adalah bagaimana mampu melihat kebenaran dalam agama, yaitu mampu melihat dan menilai bahwa yang lain juga memiliki dan meninggalkan kebenaran. Satu lagi yang ditekankan oleh KH. Abdul Muhaimin, bahwa fenomena Negara kita yang multi culture dan multiethnic tidak cukup hanya toleransi tetapi lebih pada apresiasi/menghargai perbedaan. Hindari menvonis, tetapi lebih melihat pada latar belakang secara mendalam. Maka penting adanya kegiatan PALI (Pekan Apresiasi Lintas Agama).


Infokom Edisi 43, Februari - Maret 2015
Sr. Veronika Rukini, SSpS

No comments:

Post a Comment